Selasa, 27 Januari 2009

Bulan Rojab

Bulan Rojab: Bulan Pintu Kebaikan dan Berkah
Oleh : H.M. Baidowi Muslich

Pada hari ini kita memasuki tanggal pertama bulan Rajab, salah satu bulan haram, bulan yang dimuliakan Allah swt। Amal ibadah di bulan ini harus bernilai lebih daripada bulan-bulan yang lain। Ada baiknya kita membaca kembali firman Allah swt dalam al Qur'an surat at Taubah ayat 36, yang artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Diantaranya empat bulan-haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. Maka janganlah kamu menganiaya diri dalam bulan empat itu."




Bulan haram maksudnya adalah bulan yang dihormati. Dalam bulan-bulan haram itu kita dilarang untuk menganiaya diri, artinya kita tidak boleh berbuat dosa dengan melanggar kehorma-tan bulan itu. Sebaliknya, kita harus mengisinya dengan amal ibadah yang telah disyari'atkan.
Sabda Rasulullah saw yang artinya : "Ketahuilah, bahwa zaman benar-benar berputar seperti keadaan saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram, tiga bulan berturut-urut: Dzulqo'dah, dzulhij-jah dan Muharram, dan bulan Rajabnya kaum Mudhar, yaitu yang terletak antara Jumada dan Sya'ban". (Al-Hadits-Syarief).
Pada zaman sebelum Islam, kaum jahiliyah sudah mempunyai kebiasaan menghormati bulan-bulan haram terse-but. Kebiasaan ini merupakan warisan nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as. Mereka juga melarang peperangan pada bulan-bulan ini. Sehingga, ketika terjadi peperangan, maka perang tersebut harus dihentikan demi menghormati bulan haram itu. Kadang-kadang mereka menambah jumlah satu bulan menjadi empat puluh hari atau lebih dan menunda kedatangan bulan haram agar bisa terus melaksanakan kegemaran mereka berperang. Kebiasaan menam-bah bilangan satu bulan dan menunda kedatangan bulan haram ini kemudian diharamkan oleh Allah swt setelah datangnya Islam.
Rajab, Bulan Mulia
Sebagian dari keistimewaan bulan ini (bulan Rojab) adalah bahwa bulan tersebut memiliki 17 (tujuh belas) buah nama. Diantaranya yaitu: Syahrullah, Rojab, Rojabu-Mudhor, Manqalul-asinah, Al-Asham, Al- Ashab, Munfis, Mutohhir, Mu'la, Muqiim, Haram, Muqasqisy, Mari', Fard, Rojam, Manshal Al-ilah dan Manzi'ul-asinnah.
Disebut bulan Rojab sebab bulan ini sangat dimuliakan. Demikian kata Al-Ashmu'i dan lain-lain. Dan dikatakan pula bahwa para Malaikat mengagung-kan bulan ini dengan membaca tasbih dan tahmid. Adapun disebut Rojabu-Mudhor, sebab dikaitkannya bulan Rojab dengan bani Mudhor karena penduduk bani Mudhor lebih menga-gungkannya sehingga bulan tersebut milik mereka.
Hukum-hukum yang berhubungan dengan bulan rojab banyak sekali, diantaranya yaitu:
1. Hukum Perang. Diperselisihkan tentang hukum berperang didalam bulan Rojab, apakah masih diharamkan atau sudah dihapus (mansukh). Sebagi-an besar Ulama' berpendapat bahwa hukum haram berperang di dalam bulam Rojab itu telah dihapus. Demiki-an kata Imam Ahmad dan para Imam yang lain. Yang dijadikan dasar hukum tersebut adalah kenyataan bahwa para Sahabat Nabi sesudah wafat beliau, mereka terus berjuang menaklukkan berbagai negeri. Tidak ada berita bahwa salah seorang mereka berhenti berpe-rang jika memasuki bulan-bulan mulia. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah sepakat (Ijma') hukum haram berperang pada bulan mulia itu telah dihapus.
2. Al-'Atiroh. yaitu, kambing yang disembelih untuk sesaji pada bulan Rojab di zaman jahiliyyah. Hal ini telah dilarang dalam Islam. Ini didasarkan pada hadits marfu' riwayat Imam an-Nasa'i yang menceritakan bahwa orang banyak bertanya kepada nabi, "Wahai Rasulul-lah! sesungguhnya pada zaman jahiliyah kami melakukan Atiroh di bulan Rojab". Kemudian beliau menjawab, "Sembelih-lah karena Allah pada bulan apa saja, berbuatlah kebajikan karena Allah, dan berilah makanan."
Al-Hasan berpendapat, "Di dalam Islam tidak ada Atiroh, sesungguhnya yang ada Atiroh itu pada zaman Jahiliyah. Seseorang dari mereka berpuasa dibulan Rojab dan menyembelih ('Atiroh) didalamnya.
3. Sholat Rogho’ib. Tidak ada sholat yang khusus dikerjakan pada bulan Rojab. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat Roghoib pada malam jum'at pertama dari bulan Rojab, adalah tidak sah sebab tidak ada sumber hukumnya.
4. Puasa. Tidak ada riwayat yang sah dari Rasulullah saw tentang puasa yang dikhususkan dalam bulan rojab. Tetapi ada riwayat dari Abi Qilabah, beliau mengatakan, "Di Surga terdapat istana untuk orang-orang yang berpuasa pada bulan Rojab." Imam Baihaqy mengata-kan bahwa Abu Qilabah adalah seorang pembesar dari ulama' Tabi'in. Ia tidak mengatakan hal itu kecuali karena telah sampai hadits padanya. Adapun hadis yang datang tentang puasa pada bulan-bulan mulia (al-hurum) keseluruhan-nya, adalah hadits riwayat Abu Dawud dan lain-lain. Dari Mujibatul Bahiliyah, dari ayahnya atau pamannya, bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda kepadanya, "Berpuasalah kamu didalam bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah." (Beliau ucapkan sampai tiga kali).
Diantara para Ulama' terdahulu (salaf) yang berpuasa pada bulan-bulan mulia (hurum) seluruhnya adalah: Ibnu Umar, Al-Hasan Basri, Abu Ishak as-Sabi'i.
Imam As-Tsauri berkata, "Saya sangat senang berpuasa pada bulan-bulan mulia (hurum)." Dari Ibnu Abbas ra, Bahwa beliau mengatakan makruh berpuasa pada bulan Rojab penuh (satu bulan). Demikian pula Yahya bin Sa'id Al-Anshory dan Imam Ahmad meng-anggap makruh berpuasa penuh di bulan Rojab. Beliau mengatakan hen-daklah seseorang berbuka (tidak berpuasa) sehari atau dua hari.
Imam Syafi'i berkata, "Aku menganggap makruh jika seseorang berpuasa sebulan penuh seperti pada bulan Ramadhan. Sebab jangan sampai orang awam menganggap puasa tersebut wajib." Kemakruhan tersebut menjadi hilang jika seseorang juga berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan yang lain, berpuasa bulan Rojab dan bulan Sya'ban.
5. Umrah. Para Ulama' Jumhur Sahabat seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib dan sahabat yang lain menganggap sunat (mustahab) melakukan Ibadah Umrah pada bulan Rojab.
6. Do'a. Dari Anas r.a. beliau mengatakan bahwa rosulullah saw. ketika memasuki bulan rojab beliau berdo'a, Allahumma barik lana fi Rajaba wa sya'bana wa ballighna Ramadhan. "Ya Allah. Berikanlah berkah kepada kami didalam bulan Rojab dan Sya'ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan."
Hal ini menunjukkan bahwa disunnahkan berdo'a, memohon agar di tetapkan umurnya sampai saat yang utama untuk mendapatkan amal shalih di dalamnya. Karena orang mukmin itu lebih baik jika bertambah umurnya. "Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan lagi bagus amal perbuatannya." Para Ulama' terdahulu (as-salafus sholih) meng-inginkan meninggal dunia setelah melakukan amal sholih seperti puasa atau sekembali dari ibadah haji.
Akhirnya, marilah kita memohon kepada Allah swt semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita, dalam mengamalkan kitab Suci-Nya, dan Sunnah Nabi. Kita memohon kepadaNya sebagaimana Dia telah menyampaikan umur kita kepada bulan Rojab. Semoga Ia memberi berkah kita di dalam bulan Rajab. Semoga Allah menyampaikan umur kita kepada bulan Sya'ban dan Ramadhan. Memberi berkah kepada kita didalam dua bulan tersebut.
Semoga Allah menjadikan kita, tergolong orang-orang yang memperoleh Taufiq dan orang-orang yang diterima amal ibadahnya. Semoga Allah mencatat amal ibadah kita pada bulan-bulan ini sebagaimana Allah mencatat amal ibadah para hambaNya yang shalih-shalih.
Semoga Allah mencurahkan rahmat kasih sayangNya, kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw serta para keluarga dan sahabatnya. Amiin.
(Diambil dari kitab Dzikroyaat wa Munasabaat karya Syeikh Muhammad bin Alwy Al-Maliky.

Agama dan Negara

Agama dan Negara

Perdebatan masalah agama dan negara di masa modern, sampai saat ini masih berlangsung dan belum terpecahkan secara tuntas, meskipun sudah berlangsung sejak hampir seabad yang lalu. Hal ini disebabkan oleh pertama, terlalu banyaknya bahasan. Kedua, kompleksitas permasalahan. Ketiga terlibatnya pandangan ideologis pelbagai kelompok masyarakat khususnya masyarakat islam sendiri. Semuanya sebagai akumulasi pengalaman dunia Islam selama lima belas abad dalam membangun kebudayaan dan peradaban.
Kaitan antara Agama dan Negara
Kebanyakan diskusi tentang agama dan negara mengasumsikan bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan negara. Dunia keilmuan barat dan pada tingkatan yang lebih luas juga dunia keilmuan islam menegaskan tidak adanya pemisahan antar keduanya, melalui perbandingan antara pemikiran politik Muslim dan Kristen.
Politik islam sering dipandang merupakan gabungan antara agama dan politik, dalam gerakan islam modern islam adalah din wa daulah (agama dan negara). Banyak cendikiawan muslim maupun non muslim menyatakan bahwa islam merupakan cara hidup yang menyeluruh dan tidak mengenal kependetaan atau kelembagaan formal “gereja”.
Pandangan ini didukung oleh empat referensi dalam Al-Qur’an tentang perlunya ketaatan kepada Allah, Nabi-Nya dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu (QS: An-Nisa: 59) hal itu juga dibangun atas dasar contoh dari Rasulullah SAW, yang pada saat bersamaan selain bertindak sebagai pemimpin spiritual juga betindak sebagai pemimpin komunitas politik, dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa kekuasaan (negara) dan agama harus digabungkan dalam satu atap, sehingga memungkinkan syari’at islam bisa diterapkan dan komunitas muslim terlindungi.
Kebanyakan masyarakat meyakini bahwa hubungan antara agama dan negara dalam islam sudah sangat jelas, yaitu bahwa antar keduanya ada kaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan, sekalipun dalam masalah teknis dan praktis dapat dibedakan. Agama adalah wewenang shahibussyari’ah (pemilik syaria’t) yaitu Rasulallah SAW, melalui wahyu yang diterimanya dari Allah SWT. Sedangkan masalah negara adalah merupakan bidang wewenang kemanusiaan, khususnya menyangkut masalah teknis struktural dan prosedural, yang membutuhkan peran besar Ijtihad manusia, hal ini dikarenakan aturan agama atau ayat-ayat yang mengatur masalah ini pada umumnya masih berbentuk prinsip-prinsip atau dasar yang masih umum.
Komunitas manusia diciptakan Tuhan dalam bentuk yang dinamis, maka untuk menghadapi komunitas manusia Tuhan juga menurunkan ayat-ayat yang mengandung prinsip-prinisp dan dasar- dasar , bukan peraturan yang telah terperinci, sehingga masyarakat menjadi dinamis dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Seperti telah dikemukakan bahwa ayat-ayat yang mengatur mu’amalah sedikit dan lebih banyak berbentuk prinsip-prinsip, karena itu masalah muamalah lebih banyak diserahkan kepada manusia (dalam masalah teknis) tetapi manusia harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Persoalan penting antara agama dan negara (atau bidang kehidupan dunia yang lain ) ialah bahwa dari segi etis khususnya segi tujuan (yang merupakan jawaban dari pertanyaan “untuk apa” serta prosedur untuk mencapai tujua tersebut tidak dibenarkan lepas atau bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar pertimbangan nilai-nilai keagamaan ini diharapakan tumbuh kegiatan polotik yang bermoral tinggi atau berakhlak mulia inilah makna bahwa negara tidak dapat dilepaskan dari negara.
Sedangkan dalam hal bentuk, sususnan formal serta segi-segi teknis dan praktis negara adalah wewenang manusia ,melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai satu bentuk ijtihad) dan oleh karenanya dalam hal ini agama dan negara dapat dibedakan, sehingga dalam segi bentuk , struktural dan prosedural , dunia islam sepanjang sejarahnya mengenal berbagai variasi bentuk negara tanpa adanya klaim secara doktrinal paling absah terhadap salah satu bentuk (kecuali masa khulafaurrasyidun).
Dewasa ini ada tiga pola umum sistem kenegaraan dalam dunia islam, pertama. negara Sekuler sebagaimana dipraktekan Turki yang memisahkan agama secara tegas dan karenanya membatasi peran agama dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat, kedua, Islam yang diterapkan negara-negara seperti Arab Saudi , Iran maupun Pakistan, paling tidak secara formal menyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan sumber tertinggi. Ketiga, negara Muslim yang diterapkan kebanyakan negara denga mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Islam dan Negara Indonesia.
Ada kenyataan sejarah tang terjadi atas umat Islam di Indonesia, yaitu deideologisasi. Deideologisasi berlaku sejak tahun1985 dengan diundangkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas. Maka, terkubur sudah citacita ideologi Islam.
Sebenarnya tidak ada yang menghawatirkan dengan deideologisasi, sebaliknya, dalam satu dasawarsa saja telah terjadi perkembangan luar biasa di lingkungan umat Islam. Perkembangan itu adalah 1. Munculnya Islam sebagai ilmu dan 2 munculnya Islam Inklusif.
Pertama, Islam sebagai ilmu. Dari al Qur’an dan sunnah selama ini sering dipahami bahwa Islam hanya dapat dikembangan jadi ideologi saja. Padahal tidak demikian. Selain ideologi, Islam juga bisa dibkembangakan menjadi ekonomi Islam, misalnya. Berangkat dari al Qur’an dan as Sunnah orang dapat membuat etika ekonomi Islam, dari etika dapat disebut ilmu, dan dari setiap ilmu selalu mengandung aspek teoritis dan aspek praktis. Jadi, ada etika ekonomi Islam, ada teori ekonomi Islam, ada pendidikan syariat, ada lembaga ekonomi Islam.
Kedua, Islam inklusif. Ketika ideologi Islam bersifat tertutup, khususnya oleh partai Islam, Islam bersifat eksklusif, Islam inklusif adalah agama yang dapat merangkul, menganggap orang non muslim sebagai saudara, seluruh bangsa dan seluruh umat manusia itu satu. Persoalan kebangsaan dan kenegaraan adalah persoalan bersama, yang lintas agama. Islam justru jadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi semu). Implikasinya dalam politik nasional Indonesia adalah Islam milik semua OPP. Islam dapat secara implisit menjadi substansi kekuatan politik, tanpa kekuatan itu harus secara eksplisit mencantumkan Islam dalam AD/ARTnya.
Abdurrahman Wahid pernah mengemukakan pendapatnya, bahwa Islam tidak boleh menjadi sekedar ‘cara membenarkan sistem kekuasaan yang ada sekarang, dan bukan car mengantisipasi berkembangnya sistem pemerintahan yang lebih baik yang lebih mendekati cita-cita Islam’. Ia menolak ideologi revolusi Iran maupun apa yang disebutnya sebagai ‘idelogi kultural jalan hidup Islam yang totalistik’. Yang ia asosiasikan dengan al Maududi, seorang pemikir muslim dari Asia Selatan, dan pemerintah Arab Saudi sekarang. Menurutnya Islam tidak harus bersaing dengan berbagai ideologi transformasi, melainkan bahwa ‘Islam haru melakukan kerja transformasi itu sendiri.’ Ia menyerukan transformasi yang bertahap, tidak revolusioner, dimana nillai-nilai Islam diterpakan dalam perjuangan bersama untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemahaman Abdurrahman Wahid mengenai hubungan antara Islam, politik, dan pembangunan mengombinasikan idealisme keagamaan dan kesadaran akan masalah praktis mondernisasi dan ketidaksempurnaan manusia. Ia menekankan nilai etis dan spiritual Islam yang dipandangnya sebagai sesuatu yang abadi. Meskipun demikian, ia sadar bahwa kenteks-konteks yang berubah, dimana Islam terlokalisasikan, mensyaratkan kreatibitas dan kelenturan dalam penerapan kebenaran abadi itu.
Kesimpulan
Dalam ruang-ruang ideolgis dan politis yang dijaga dengan sangat hati-hati ini. Yang diatasnya menekankan harmoni dan kensesus, sudah jelas wacana keagamaan, dengan berbagai rujukan kepada teks-teks suci, merupakan satu diantara sedikit saluran yang relatif bebas dari desakan hegemoni makna kekuasaan yan sedang tegak. Meskipun demikian, jika sebuah wacana juga dimaksudkan untuk membangun sejenis fomasi sosial tertentu, maka realitas struktural yang ada sudah membatasi pilihan yang tersedia. Walau tidak sepenuhnya terbebas dari berbagai kecurigaan ideologis dan politis, adalah tanggapan kreatif yang menjadikan paradigma baru di atas sangat penting.
Terlepas dari kecenderungan ajarn Islam yang pada dasarnya bersifat transhistoris, yang tidak bersedia membuat batas-batas yang tegas anatar agama, ‘negara’ dan ‘masyarakat’ dan antara ‘wilayah politik’ dan ‘formasi sosial’, pembentukan masyakat muslim di atas jalan yang benar merupakan tujuan yang lebih dekat yang bisa dicapai, dan juga dipandang sebagai satu-satunya langkah politik yang masuk akal dan posisi politik yang paling menjanjikan yang dapat ditempuh.
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Uniersitas Islam Malang.

Jihat

Jihad, Ijtihad, dan Mujahadah
Oleh: Miftahul Huda, S।Ag.

Beberapa waktu lalu di tengah umat Islam muncul sekelompok orang yang memiliki kepedulian tinggi untuk berjihad dengan membawa nama agama Islam sebagai simbol gerakan-nya. Mereka tumbuh sebagai reaksi atas ketidakadilan umat agama lain yang menurutnya telah menginjak-injak kemulyaan sebagian umat Islam. Mereka secara spontan mengorganisir dirinya sehingga terbentuklah sebuah kelompok yang besar, terdiri dari orang-orang yang memiliki idealisme tinggi untuk membela saudaranya muslim yang teraniaya. Ternyata gerakan jihad semacam ini tidak cukup untuk mewujudkan cita-cita terbentuknya peradaban Islam. Jihad masih perlu Ijtihada dan mujahadah.
Transformasi sosial dan jihad seolah-olah merupakan dua sisi mata uang yang secara konseptual mungkin dapat dipisahkan, tapi dalam operasio-nal ternyata ada kaitannya yang tak mungkin dipisahkan. Proses transfor-masi sosial ini membutuhkan semangat jihad, dan jihad itu sendiri akan sia-sia bila tidak membuahkan hasil yang berupa kondisi yang lebih baik sesuai dengan yang diidealkan.
Ada tiga istilah berbeda yang berakar dari satu kata jahada yang memiliki makna dan implikasi berbeda. Istilah tersebut adalah Jihad, ijtihad dan mujahadah. Ketiga hal ini harus ada untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang islami. Dan telah terbukti sepanjang sejarah, tidak ada kemajuan tanpa proses ketiga unsur ini.
Kata jahada yang menjadi akar dari ketiga istilah tersebut, sebenarnya secara dasar memiliki arti berusaha dengan sungguh-sungguh, mencurahkan segala kemampuan, dan berjuang. Kata jihad diterapkan dalam konteks peperangan, sedangkan ijtihad diterapkan dalam konteks pemikiran, dan mujahadah dalam kontek kesufian. Ketiga-tiganya meskipun memiliki konteks penerapan berbeda, namun masih ada kaitan dengan makna dasar, yaitu kesunggu-han pelakunya dalam perang atau pencurahan segala kemampuan dalam melakukan ijtihad, dan atau penghayatan serta pengamalan ajaran agama islam (mujahadah). Tiga hal inilah yang akan kita bicarakan.
Jihad
Allah swt memerintahkan umat Islam untuk berjihad, sebagaimana tertera di banyak ayat Allah swt. Diantaranya pada QS. al Hajj ayat 78, yang artinya, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.”
Dalam sebuah hadis juga dinyatakan bahwa jihad di jalan Allah swt itu merupakan salah satu perbuatan yang paling utama. Perintah berjihad terkait dengan jalan Allah. Ini mengandung pengertian bahwa dalam berjihad harus tetap komitmen dengan nilai keimanan terhadap Tuhannya, dan diladansi ajaran Allah swt (agama Islam) yang universal dan rahmatan lil’alamin. Yakni berusaha membantu manusia mewujdkan tata kehidupan yang disemangati nilai-nilai ramah (kasih sayang) serta dilakukan semata-mata hanya mengharapkan ridho Allah swt.
Perintah berjihad perlu dilakukan dengan harta (amwal) dan totalitas diri manusia (anfus). Hal ini mengadung pengertian bahwa dalam melakukan jihad perlu mencurahkan segala kemampuan dan berkorban dengan segala tenaga, pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia.
Agar mau berkorban menegakkan agama sebagaimana isyarat al Qur’an diperlukan sikap kesabaran yang tinggi. Sebagaimana QS. an Nahl ayat 110 yang artinya, “Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Hal ini memberikan pemahaman kepada kita, bahwa dalam berjihad harus disertai dengan sikap ketelitian dan kecermatan, tidak sembrono, serta diikuti keyakinan bahwa ia berada dalam upaya penegakkan agama Allah. Dalam berjihad juga tidak diperkenankan untuk takut pada celaan o-rang lain atau takut dikritik dari siapa pun datangnya, yang semua itu bertujuan untuk perbaikan dirinya. Ayat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa orang yang berjihad harus memiliki wawasan jangka panjang atau masa depan yang lebih baik dan diridhoi Allah swt.
Kajian mengenai makna jihad tersebut dapat difahami bahwa istilah jihad mengandung makna kesediaan untuk bekerja keras dengan mencurahkan segala kemampuannya, baik fisik maupun psikis, material maupun spiritual dengan segala totalitas diri yang dimiliki, menuju jalan menegakkan agama Allah swt, mempunyai sikap ketelitian dan kecermatan serta sikap terbuka terhadap kritik dari luar yang bersifat membangun memiliki wawasan ke depan untuk memikirkan kelangsungan kehidupan agama Allah swt.
Ijtihad
Jika jihad merupakan upaya mempertahankan kelangsungan syariat agama Allah swt, maka ijtihad terkait dengan masa-lah pemikiran. Yaitu berusaha memecahkan permasalahan yang muncul di masyarakat dan memerlukan pemecahan secara agama.
Kejayaan Islam tidak cukup hanya dipertahankan dengan jalan jihad, tetapi juga melaui upaya ijtihad. Di sinilah terlihat jelas usaha-usaha para ulama atau para mujtahid yang berjuang melalui ilmu pengetahuan. Mereka inilah yang memberikan konsep dasar kemasyarakatan, sekaligus memberikan solusinya. Dengan usaha-usaha ijtihad ini akhirnya agama tidak jumud, statis, atau mandeg. Tetapi sebaliknya, agama menjadi dinamis, sejalan dengan perkembangan zaman itu sendiri. Maka proses aktualisasi pemikiran konsep-konsep Islam inilah yang perlu digali melalui pintu ijtihad.
Ijtihad memiliki pengertian; mengerah-kan segenap kemampuan daya fikir untuk menentukan hukum terhadap sesuatu yang belum ada hukumnuya dengan metode istimbath. Ijtihad terjadi atas hal-hal yang belum ditentukan hukumnya secara rinci, baik di dalam al Qur’an maupun hadis. Hasil ijtihad mungkin berubah baik karena perubahan kondisi maupun karena perubahan situasi. Hasil ijtihad mungkin berbeda antara mujtahid satu dengan yang lain.
Ijtihad sebagai upaya untuk menetapkan hukum ini sudah terjadi sejak zaman Nabi saw. Yaitu ketika wilayah Islam menjadi luas, Nabi saw memberikan izin kepada salah seorang sahabatnya untuk menge-luarkan fatwa hukum yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun hadis. Imam Abu Daud dan Turmudzi meriwayatkan tentang dialog Rasulullah saw dengan sahabat Muadz bin Jabal sewaktu ia diutus ke Yaman. Rasulullah saw bertanya kepad Muadz, “Bagaimana kamu memutuskan hukum apabila dihadapkan pada suatu perkara?” Muadz menjawab, “Saya akan menentukan berdasarkan kitabullah al Qur’an.” Sabda Rasulullah saw, “Jika kamu tidak menemukan dalam kitabullah al Qur’an?” “Saya akan menentukan hukum dengan sunnah Rasulullah saw.” Jawab Muadz. “Jika tidak kamu temui dalam sunnah dan Al Qur’an?” Tanya Rasulullah saw. Maka Muadz menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya.” Lalu Rasulullah saw menepuk dadanya seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah dengan melakukan ijtihad.”
Pelaksanaan ijtihad pada masa Rasulullah saw masih sangat terbatas karena kejadian kejadian yang memerlukan penentuan hukum masih bisa ditanyakan langsung kepada Rasulullah saw dan adanya kemungkinan masih turun wahyu yang dapat seketika menjadi jawaban atas permasalahan yang ada. Namun setelah Rasulullah saw wafat, maka para sahabat lazim melakukan ijtihad baik secara fardi (perseorangan) maupun jama’i (kelompok).
Di sinilah terlihat bahwa Islam maju dan berkembang diantaranya dengan konsep ijtihad. Karena disadari bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sebuah proses dan bukan produk. Dikatakan proses karena masih terbuka peluang untuk terus dikritisi, dikaji ulang dan disempurnakan, dan bukan sebagai produk jadi yang sudah baku. Hanya al Qur’an dan sunnah saja yang merupakan produk baku dan harus diterima kebenaran-nya. Namun interpretasi (penafsirannya) itulah yang perlu dilakukan melalui pintu ijtihad.
Mujahadah
Mujahadah masuk dalam wilayah tasawuf. Setiap orang harus melakukan mujahadah untuk memperoleh ilmu ma’rifat yang sejati, sehingga tercapai kebahagiaan yang hakiki. Sehingga dapat dikatakan; jihad sebagai upaya mempertahankan agama dari musuh, ijtihad sebagai upaya mencari solusi atas permasalahan sosial kemasyarakatan, dan mujahadah adalah upaya untuk meningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga menjadi sempurna.
Untuk bermujahadah ini ulama telah membantu membuat suatu usaha atau cara, yaitu melalui tarekat yang mu’tabaroh. Tarekat inilah salah satu cara yang bisa mengantarkan seseorang beribadah dengan baik dan benar sehingga dapat merasakan kelezatan dan kenikmatan setiap ibadah. Dengan demikian pada dasarnya orang itu telah menjalani ibadah yang benar dan mencapai hasil yang hakiki berupa intisari ibadah yang tergambarkan dalam ketenangan dan kedamaian lahir batin, merasa butuh dengan Allah swt setiap saat merasa cukup dengan Allah swt dan tenang dalam komunikasi ibadah kepadaNya. Dalam salah satu firmannya, Allah menjelaskan, “Dan barang siapa bersungguh-sungguh (bermujahadah) di jalanku, niscaya akan Kami tunjuki menuju jalanku yang lurus.”
*Penulis adalah Staf Pengajar di PP. Miftahul Huda dan STAIN Malang

Toriqoh

Thoriqoh : Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT
Oleh: KH।M।Baidlowi Muslich*

Ada yang mengatakan thoriqoh hanyalah forum dzikir yang dilembagakan, bid'ah dan tidak ada dasarnya. Padahal, thoriqoh sebenarnya merupakan perilaku kehidupan Rasulullah Saw sendiri yang penuh keruhanian; yaitu ibadah, perbaikan akhlak, zuhud, hidup sederhana, bekerja keras, dan sosial. Namun hati-hati, tidak semua thoriqoh benar. Hanya thoriqoh yang mu'tabaroh (bersumber dari nabi muhammad Saw) yang dapat diterima.
Seorang pemikir Islam modern, Fazluh Rahman, mengomentari thoriqoh qodiriyah; bahwa thoriqoh yang didirikan oleh syaikh Abdul Qodir Jaelani itu mempunyai asas-asas bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah Swt. Sedangkan Naqsyabandiah yang didirikan oleh Muhammad bin Bahaudin al Uwasi al Bukhori itu mempuyai dasar-dasar yang kuat dan berpegang kepada ahlussunnah, hidup sederhana, mengerjakan agama dengan sungguh-sungguh mengikuti akhlak Rasulullah Saw meninggalkan semua selain Allah Swt, menyembunyikan dzikir, selalu ingat Allah Swt, selalu menyendiri dalam keramaian bersama Allah Swt, merasa diawasi Allah Swt, tidak meringan-ringankan agama dan tarikan nafas yang selalu mengingat Allah Swt.
Thoriqoh yang diajarkan Rasulullah Saw
Secara sederhana thoriqoh merupakan cara mendekatkan diri (taqorrub) kepada Allah Swt. Yaitu dengan menjalankan agama islam dengan lebih hati-hati dan teliti, seperti menjauhi perbuatan syubhat, melaksanakan keutamaan-keutamaan sesudah melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti mengerjakan sholat tahajjud, sholat sunnah rawatib dan sebagainya. Serta sungguh-sungguh mengerjakan ibadah seperti puasa senin dan kamis, rajin membaca al-qur'an, sholawat, dzikir, tasbih, istighfar dan sebagainya.
Pada dasarnya, thoriqoh merupakan ilmu yang digunakan untuk mengetahui hal ihwal nafsu dan sifat-sifat hati. Dengan thoriqoh dapat diketahui mana sifat yang madzmumah (tercela menurut syara') kemudian di jauhinya, dan mana sifat yang mahmudah (terpuji menurut syara') kemudian diamalkan. Dengan demikian thoriqoh merupakan amaliyah tasawuf yang bertujuan untuk mencari ridho Allah Swt.
Dalam al qur'an dinyatakan bahwa " Jika mereka tetap (istiqomah) menempuh jalan itu (thoriqoh), maka benar-benar akan kami berikan air yang segar (rizki yang berlimpah)". (QS.aj-Jin : 16). Ayat ini menjelaskan bahwa jika seorang hamba Allah Swt istiqomah menjalankan wirid, dzikir, muroqobah, musyahadah dan menjalankan beberapa sifat mahmudah (terpuji) serta meninggalkan beberapa sifat madzmumah (tercela) yang semuanya bertujuan hanya memohon ridho Allah Swt, maka Allah Swt pasti memenuhi hati mereka dengan asror (rahasia) dan ma'rifah ilahiyah serta mahabbah ilah. (Tafsir Showi juz 4 : 216 ).
Ketika wafat Rasululah sudah dekat, para sahabat menangis seraya berkata, "Wahai Rasululah, engkau utusan Allah pada kita dan mengukuhkan perkumpulan kita dan menjadi pusat urusan-urusan kita. Ketika engkau meninggalkan kami, maka kepada siapa kami kembali?" jawab Rasulullah Saw. "Aku telah meninggalkan dua pusaka yaitu syariat islam at thoriqoh al baidho' yaitu thoriqoh yang bersih (yang sanadnya muttasil pada Rasulullah). Dan aku telah meninggalkan untukmu dua petunjuk, yaitu petunjuk yang dapat berbicara yakni al-Qur'an, dan petunjuk yang tidak dapat berbicara yakni maut. Apabila ada sesuatu hal yang menyulitkan kalian, maka kembalilah kalian pada al Qur'an dan al Hadits. Dan ketika keras hatimu yakni tidak bisa menerima nasihat, maka lemaskanlah hatimu dengan memikirkan hal ihwal orang yang sudah meninggal. (HR Abdullah Bin Mas'ud ra).
Dalam suatu hadits dari Saddad Bin Aus dan 'ubadah Bin Shomit ra diriwayatkan, keduanya mengatakan, "apakah di antara kamu ada orang lain ?" kami menjawab, "tidak ada wahai Rasulullah". Kemudian Rasulullah menyuruh agar pintu ditutup, kemudian Rasulullah Saw bersabda, "Angkatlah kedua tanganmu dan ucapkan kalimah Laa ilaha illah".
Thoriqoh para Sahabat
Semua sahabat rasulullah saw melakukan thoriqoh, tidak hanya sahabat Abu Bakar dan sahabat Ali bin Abi Tholib saja. Sahabat yang lain juga melakukan thoriqoh, namun caranya berbeda-beda sehingga kemasyhurannyapun berbeda-beda pula. Seperti Umar bin Khattab yang masyhur dengan sebutan ahli as sholabah fiddin (kuat agamanya), Utsman bin Affan masyhur dengan sebutan ahli syiddatul haya' (pemalu). Sayyidina hamzah dan khalid bin Walid masyhur dengan ahli faroid, Abdullah bin Mas'ud masyhur dengan ahli qiro'at, Abu Dzar masyhur dengan ahli zuhud, Muadz bin Jabal masyhur sebagai ahli fiqh (ilmu halal dan haram) dan banyak lagi bidang-bidang yang dijalani para sahabat suluk kepada Allah Swt.
Sedangkan Abu Bakar ra dan Sayyidina Ali r.a, keduanya adalah sahabat yang masyhur ahli dzikir nafi-itsbat dan dzikir ismu-dzat. Akan tetapi sayyidina Ali r.a. fana'nya dalam dzikir nafi-itsbat (menyebut kalimah laa ilaaha illah), sedangkan Abu Bakar fana'nya di dalam dzikir ismu-dzat (menyebut nama Allah, Allah, Allah). Dzikir nafi'-isbat dan ismu-dzat inilah yang kemudian berkembang secara turun-temurun melahirkan thoriqoh-thoriqoh mu'tabarah.
Tujuan Thariqoh
Tujuan melakukan thariqoh adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mencari ridho-Nya, sebagaimana do'a yang dibaca setelah dzikir Qodiriyah dan Naqsabandiyah yang artinya " Ya Allah, Engkaulah yang aku tuju, dan keridhoanMu yang aku cari. Berikan kepadaku mahabbah (rasa cinta) dan ma'rifat kepadaMu". Dengan melakukan ilmu thoriqoh, seorang saalik (orang yang menetapkan hati menempuh jalan akhirat dengan selamat) berupaya semaksimal mungkin untuk bisa sampai kepada derajat mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela. Maka dari itu tujuan akhir melaksanakan ilmu thariqoh adalah agar seseorang bisa menghiasi hatinya dengan sifat dzikir, muraqabah, mahabbah, ma'rifat dan musyahadah kepada Allah Swt.
Ilmu thariqoh lebih utama dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Alasannya, ilmu thariqoh itu bisa membersihkan hati dari sifat-sifat tercela, hina menurut syara' serta membawa hati pada sifat ma'rifat dan musyahadah kepada Allah Swt. Adapun posisi ilmu thoriqoh diantara ilmu-ilmu yang lain adalah bahwa ilmu thoriqoh sebagai asal dari setiap ilmu. Sedangkan ilmu-ilmu yang lain sebagai cabang dari ilmu thoriqoh. ( Kitab Miftahul Jannah).
Hubungan syariat dengan thoriqoh bagaikan jasad dengan ruhnya. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Ruh tanpa jasad tidak mungkin bisa berdiri tegak sebagaimana layaknya manusia. Sebaliknya, jasad tanpa ruh adalah mayat. Thoriqoh digunakan manusia untuk menghasilkan kesempurnaan keikhlasan. Sedangkan ikhlas ini merupakan amal ibadah tersendiri yang hanya bisa dikerjakan oleh hati. Adapun syari'at digunakan untuk membangun rukun-rukun agama secara sempurna.
Dengan menggabungkan syari'at dan thoriqoh nantinya akan diperoleh amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara yang benar dan hati yang ikhlas. Dengan demikian mengerjakan shalat fardlu (ilmu syariat) dan memahami ilmu menjadikan hati yang ikhlas merupakan kewajiban yang tidak diragukan lagi. Adapun cara untuk menghasilkan kedua ilmu tersebut, sekaligus untuk menghindarkan diri dari lupa terhadap Allah Swt serta menghindari tersesatnya hati adalah dengan melaksanakan dzikir kepada Allah Swt. Sebab Allah sudah menyatakan bahwa dzikir itulah yang akan menentramkan hati manusia. " Orang-orang mu'min hatinya tentram karena mengingat Allah. Ingatlah! karena dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram. (QS. Ar-Ra'du : 28).
Hukum mengikuti thoriqoh
Hukum mengikuti thoriqoh ini diperinci sebagai berikut : Apabila belajar ilmu thariqoh untuk membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, maka hukumnya fardlu 'ain bagi setiap mukallaf. Adapun berbai'at kepada seorang guru mursyid hukumnya sunnah nabawiyyah. Kemudian melaksanakan thoriqoh bagi merka yang sudah berbai'at hukumnya wajib. Adapun mentalqin murid dengan dzikir dan cara-cara dzikir tertentu oleh guru mursyid hukumnya sunnah.
Syarat dan cara menjalankan thoriqoh
Pada mulanya seseorang yang masuk thoriqoh sudah harus memahami I'tiqod 50 atau yang lebih dikenal dengan aqo'id seket (dasar-dasar aqidah berupa sifat wajib dan sifat muhal Allah, sifat wajib dan sifat muhal bagi para Rasul, sifat jaiz Allah dan para Rasul) serta sudah mengerti ilmu syari'at secara keseluruhan dan mengamalkannya. Namun mengingat banyaknya ajaran yang menyesatkan umat Islam dan menyeret umat kepada kesyirikan seperti thariqoh bathilah yang silsilahnya tidak sampai pada Rasulullah Saw, maka mursyid thariqoh mu'tabaroh memberikan kemudahan-kemudahan. Umat Islam yang belum sempurna ilmu dan amaliyah syari'atnya bisa mengikuti bai'at (janji melaksanakan dzikir) thariqoh secara benar dengan syarat harus memperdalam ilmu syari'at setelah bai'at. Thoriqoh dan syari'at kemudian harus berjalan bersama-sama dengan senantiasa memperdalam ilmu dan meningkatkan amal. Inilan model dakwah ulama-ulama thoriqoh.
Diantara contoh thoriqoh mu'tabaroh adalah thoriqoh qodiriyah. Kaifiyah atau cara menjalankan thariqoh ini adalah setiap selesai shalat fardlu membaca dzikir Laa illaha illallaah sebanyak 165 kali. Amaliyah ini kemudian harus diikuti dengan sungguh-sungguh menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya.
Demikianlah, thariqoh hanyalah jalan menuju Allah Swt. Thariqoh tidak hanya satu atau dua macam, tetapi banyak. Sebanyak bilangan manusia yang berjalan menuju Allah Swt.
* Penulis adalah Kepala PP. Miftahul Huda, Gading Kasri – Malang dan ketua MUI Kota Malang.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More